Sempat Jadi Ketua PKI, Perjuangkan Kemerdekaan Indonesia Hingga Terima Surat Wasiat Bung Karno
Isu kebangkitan komunis di Indonesia masih terus berlangsung meski peringatan Hari Kesaktian Pancasila telah berlangsung Minggu (1/10/2017).
Pemutaran film tentang G30S/PKI pun sudah berjalan di sejumlah tempat, termasuk di salah satu stasiun televisi swasta nasional.
Tetapi, tahukah Anda, keberadaan komunis di Indonesia tidak bisa lepas dari sosok yang satu ini.
Dia adalah Tan Malaka.
Tahun 1926 ketika PKI memberontak terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, Tan Malaka termasuk tokoh yang dikejar-kejar pemerintah meski Tan Malaka sendiri mengaku tidak setuju atas pemberontakan itu.
Sosok lelaki asal Minangkabau, Sumatera Barat, ini puluhan tahun berkelana di luar negeri mengikuti berbagai kegiatan komunis internasional dan juga memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Tahun 1922, ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda masih sangat berkuasa di bumi Nusantara, Tan Malaka telah memperjuangkan Indonesia di luar negeri.
Tan Malaka di Mata Bung Hatta
Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Mohammad Hatta, dalam bukunya, Untuk Negeriku Sebuah Otobiografi, mengatakan, tahun 1925 di Jerman dia menerima buku karya Tan Malaka yang berisi tentang Republik Indonesia.
Buku itu berjudul Naa een Republik Indonesia. Buku kecil ini, kata Hatta, kemungkinan dicetakan di Manila, Filipina.
Dia terus bergerak dan bergerak, termasuk ke Moskow (Rusia) karena Moskow adalah pusat gerakan komunis internasional.
Tetapi, Tan Malaka tidak akan tinggal dan menetap di Moskow yang saat itu menerapkan pemerintahan diktaktor Stalin.
"Ia (Tan Malaka) tak akan beristirahat, tetapi akan terus bergerak dan berjuang untuk Indonesia merdeka," tulis Bung Hatta --panggilan Mohammad Hatta.
Bagi Tan Malaka, komunisme yang diberlakukan di Moskow sangat bertentangan dengan konsep komunisme yang benar yang berlaku sama rata sama rasa, berlaku demokrasi yang sepenuhnya.
Sementara komunisme yang dijalankan oleh rezim Stalin di Moskow justru mirip dengann sistem perbudakan.
Dia mengaku tak mempunyai tulang punggung yang mudah membungkuk, seperti layaknya gaya para anak buah Stalin ketika bertemu sang juragan.
Di Moskow, komunisme Stalin menjadikan ada seorang pemimpin yang berkuasa dan yang lain itu sebagai budak.
Karena itu, Tan Malaka tan mungkin tinggal dan menetap di Moskow meski dia harus mempelajari komunis di negara itu.
"Aku menjauhi lingkungan yang bertentangan dengan komunisme yang sebenarnya. Aku pergi ke Timur jauh, ikut berjuang di sana untuk kemerdekaan bangsa Indonesia," ujar Tan Malaka saat bertemu Hatta di Berlin tahun 1922.
Hatta yang cerdik tak percaya begitu saja ucapan Tan Malaka itu.
Bung Hatta berujar, "bukankah ditaktor termasuk dalam sistem komunisme?" Karl Marx mengajarkan tentang ditaktor proletariat.
Tetapi, Tan Malaka langsung membantahnya.
Dia mengatakan, diktaktor proletariat dalam teori Karl Marx hanya terdapat pada masa peralihan, mengalihkan kekuasaan kapitalis atas sumber produksi ke tangan masyarakat.
Tan Malaka melanjutkan, kaum buruh yang terbangun dahulu di bawah asuhan perjuangan kelas, menjadi perintis jalan untuk menegakkan keadilan ke jurusan sosialisme dan komunisme yang akan terselenggara dalam produksi oleh orang banyak dan untuk orang banyak di bawah pimpinan badan-badan masyaarakat.
"Ini bertentangan dengan diktaktor orang seorang," ujar Tan Malaka seperti ditulis Bung Hatta.
Tokoh di Balik Layar
Franz Magnis-Suseno dalam buku 'Dalam Bayang-bayang Lenin Enam Pemikiran Marxisme dariLenin sampai Tan Malaka' menyebut tokoh kelahiran Suliki, Sumatera Barat, 1897 itu sebagai tokoh di balik layar.
Penulis buku Madilog yang hampir 3 tahun menghuni sejumlah rumah tahanan di Indonesia ini seakan-akan selalu berada di bahwa sebuah peristiwa besar.
Hanya sesekali ia muncul ke depan, seperti pada Kongres di Purwokerto, Jawa Tengah, Januari 1946 saat membentuk Pesatuan Perjuangan.
Partai Murba yang didirikan oleh kawan-kawan dekatnya pun tidak ia masuki.
Bahkan ketika terjadi pemberontakan PKI tahun 1926 yang gagal, dia sedang tidak ada di Indonesia, dan mengaku tak setuju dengan peristiwa itu. Sejak itu ia meninggalkan PKI dan aktivitasnya di asosiasi komunis internasional.
Tapi, tokoh bernama Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka ini banyak dianggap sebagai tokoh yang sepadan dengan proklamator RI, Soekarno.
Tan Malaka banyak membaca dan belajar dengan Marxisme saat sekolah di Belanda. Saat itu ia juga tertarik dengan revolusi Oktober di Rusia yang dilakukan oleh Lenin.
Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia aktif di beberapa pergerakan dan tahun 1921 dia menjadi ketua PKI.
Tapi, setahun kemudian dia diusir oleh kolonial Belanda dari Indonesia dan kembali ke Belanda dan hampir menjadi anggota parlemen dari partai komunis di Belanda.
Saat menghadiri Kongres IV Komintern (Asosiasi Komunis Internasional) di Moskow tahun 1923, dia mengkritik sikap organisasi ini yang anti-Panislamisme.
Tan Malaka menuntut agar kaum komunis mau bekerja sama dengan kelompok-kelompok muslim radikal.
Surat Wasiat Soekarno untuk Tan Malaka
Franz Magnis-Suseno menceritakan, peristiwa cukup misterius terjadi pada akhir September atau permulaan Oktober 1945 setelah ia kembali ke Jakarta dan bergabung dengan sejumlah tokoh kemerdekaan.
Dalam sebuah pertemuan, Soekarno melihat dan berbicara kepada Tan Malaka bahwa jika sesuatu terjadi pada dirinya, Tan Mala harus mengambil alih pimpinan revolusi.
Kemudian, pernyataan Bung Karno itu dibuat secara tertulis dalam sebuah surat yang kemudian disebut juga 'surat wasiat'.
Tetapi, Bung Hatta meminta agar sejumlah tokoh seperti Sutan Sjahrir, Iwa Kusumasumantri, dan Wongsonegoro juga dimasukkan dalam surat wasiat itu.
Pertempuran di Surabaya pada November 1945 meyakinkan Tan Malaka bahwa kemerdekaan tidak dapat diperoleh di meja perundingan, tetapi harus diperjuangkan dalam sebuah revolusi.
Dia kemudian mengeluarkan semboyan yang cukup terkenal, yaitu 'Merdeka Seratus Persen'. dan 'massa aksi'.
Prinsip Tan Malaka itu menyebabkan dia banyak bertentangan dengan politik diplomasi yang dikembangkan pemerintahan Sjahrir.
Lewat organisasi Pesatuan Perjuangan --yang juga beranggotakan organisasi yang dipimpin Bung Tomo dan Jenderal Sudirman-- tahun 1946 terus menggoyang Sjahrir sehingga dia pun jatuh.
Tetapi, sebelum Tan Malaka muncul, Sjahrir kembali berkuasa. Tan Malaka dan beberapa tokohnya setelah kongres Persatuan Perjuangan di Madiun tanggal 17 Maret 1946, ditangkap dan dipenjara.
Menurut Franz Magnis-Suseno, Tan Malaka pada akhir Maret 1949 ditangkap tentara dan kemudian dieksekusi di penjara pada 16 April 1949.
Tan Malaka meninggal dalam usia 52 tahun.
Dia mewarisi sebuah pemikiran yang ditulis dalam beberapa buku, di antaranya yang berjudul Madilog sepanjang 462 halaman.
Madilog (materialisme, dialektika, dan logika) adalah sebuah gagasan agar bangsa Indonesia keluar dari kegelapan irasionalitas dan masuk ke dalam rasionalitas modern.
Dalam pandangan Tan Malaka, bangsa Indonesia terbelakang karena masih terperangkap dalam logika mistika.
"Karena itu, jalan untuk membebaskan diri dari logika mistika adalah madilog," tulis Franz Magnis.
Cara berpikir gaib atau logika mistika adalah mengaitkan suatu peristiwa dengan mengembalikan kepada perbuatan roh di alam gaib yang berada di belakang alam nyata.
Cara berpikir ini tidak menjelaskan sebab akibat sehingga orang tidak akan pernah maju jika berpikiran seperti itu.
Posting Komentar